Monday, February 11, 2008

AKIBAT TERLALU PEDE SISTEM

Minggu siang, 10 Februari, aku harus pergi ke rumah orangtuaku di kawasan Karawaci, Tangerang. Tapi sebelumnya, karena memang butuh uang untuk bikin pemakaman Ibu, harus mengambil uang dulu di Bank BCA tempat aku dan istriku menabung. Kami sudah ngecak, kira-kira apa saja yang akan dilakukan di ATM BCA nanti. Selain mengambil uang sebesar Rp 700 ribu, juga transfer ke NISP sebesar Rp 1,5 juta untuk pembayaran kredit kendaraan kami.
Tepat jam 12-an mobil APV kami, dari rumah di daerah Ciledug, Tangerang, sudah meluncur ke arah Joglo. Tujuannya, ATM BCA Interkon. Karena di sini kami anggap paling aman bertransaksi dan praktis. Artinya, selain sudah kenal dengan orang-orang sekitar, termasuk tukang parkir, juga mempermudah perjalanan kami ke arah Tangerang tadi. Meski sebenarnya kami bisa saja langsung dari rumah ke daerah Meruya dan bablas ke tol Tangerang lewat pintu tol di depan Puri Mal yang memang dibuka untuk umum, tanpa penjaga.
“Jangan lupa, slipnya dibawa, Mas!” pesan istriku begitu sampai di ATM BCA Interkon. Pesan yang sama tiap kali aku akan mengambil uang atau sekadar transfer di ATM BCA. Maklum, istri dan mungkin ibu-ibu lain pun, bukti slip bank ini sangat penting untuk mengatur keuangan alias money flow dalam rumah tangga.
Aku hanya mengangguk, meninggalkan mobil yang masih menyala diparkir dekat mesin ATM. Istri dan anakku menunggu di sana.
Kulihat, mesin ATM sepi pengunjung. Saat kumasuk dan bersiap transaksi pun masih sepi. Tapi beberapa menit kemudian ada seorang bapak dengan putrinya yang masuk juga untuk bertransaksi di mesin ATM satunya lagi. Sebelum memasukkan kartu ATM ke slotnya, aku sempat melirik ke samping kiri bapak yang tadi. Maklum, anaknya begitu ramai dan memainkan tong sampah yang ada di tengah mesin ATM.
Sadar kuperhatikan, sambil senyum si bapak itu berujar, bernada melarang, “Ayo Kayla, jangan berisik. Tuh, mengganggu Om-nya!”
Aku membalas senyumnya. Dan tampaknya, si anak pun mengerti. Ia berkeser ke kiri menjauhiku dan sembunyi di balik badan bapaknya. Aku pun melanjutkan transaksi. Tapi aku agak kaget juga, karena waktu kartu kumasukkan ke slot, langsung dilepehin lagi, tanpa tertera pentintah apa pun. Lho, kenapa sih. Kok ditolak? Gumamku. Ah, mungkin tadi mesinnya belum siap! Aku pun memasukkan ulang kartuku yang tadi sempat kutarik dari slot mesin. Betul aja. Kali ini mulai muncul perintah untuk memasukkan sandi alias PIN kartuku. Seperti biasa, dengan sigap aku ketik angka-angka pasword yang sudah hafal di luar kepala.
Aku pun mulai bertransaksi. Ketak ketik sana-sini, yakni transfer uang dulu sebenar 1,5 juta ke bank NISP. Proses pun lancar dan mudah. Itu makanya, aku lebih suka menabung di BCA. Karena serba digampangkan. Alhasil, aku pun pede, ini bank yang paling aman. Sehingga gak perlu cek-cek pun pasti (harusnya) benar.
Transaksi berikutnya menarik uang tunai. Karena memang di layar tak tersedia angka yang kumaiu, aku memencet tombol penarikan dengan jumlah tertentu. Langsung saja kuketik 700.000. Enggak lama, duit nongol, dari lubang pengambilan. Masih baru dan lempeng-lempeng. Setelah sebentar mencium bau uang itu (ini kebiasaan ndesoku kalo ngeliat duit baru dan masih lurus), langsung kumasukkan uang itu ke dompet. Transaksi pun selesai. Malah untuk memastikan, setelah slip transaksi muncul dan kartu ATM aku simpan kembali, aku masih menunggu perintah di layar komputer mesin. Ini juga kebiasaanku. Walau tak jarang sering diplototi orang yang sudah antre mau transaksi di mesin itu juga, hehehe... emang gue pikirin.
Setelah dirasa aman, baru deh aku naik mobil lagi. Tanpa curiga dan masih terlampau pede dengan kinerja yang bagus, aku enggak ngitung-ngitung lagi duit yang aku ambil. Sebaliknya, aku langsung meninggalkan lokasi ATM menuju Tangerang. Di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Kebon Jeruk, aku mampir ke toko kue. Membeli beberapa kue untuk saudara di Tangerang. Dengan uang 100 ribu dari 700 ribu yang aku ambil tadi di ATM, dibayarlah kue itu sekitar 50 ribu. Artinya kembalian 50 ribu.
“Cuma selembar kok, Pak!” kata si penjual kue. Dia melihat sebelum aku ngasihin duit cepekan itu, sempat ngecek berulang-ulang sambil dikebet-kebet. Karena masih baru itu, aku takut lembarannya nempel.
Aku tertawa. “Yah... mastiin aja Mas. Takut kalo-kalo lebih, hehe..,” balasku. Si penjual kue ikutan ketawa sambil ngasihin pesanan kueku dan uang kembalian.
Selesai itu, aku langsung tancap gas lagi ke Tangerang. Tapi sebelumnya, karena istri bilang lapar, kami pun mampir ke tukang bakso langganan. Maklum, meski kios bakso ini kecil, tapi banyak pelanggan. Sebab baksonya enak banget. Mas Siswanto, penjualnya bilang sih, bakso ini asli, dia yang bikin sama istrinya. Tanpa campuran borak, atau zat berbahaya lainnya.
Sekitar setengah jam, kami makan bakso. Setelah itu, kami to be continue ke Tangerang. Artinya, enggak mampir-mampir lagi ke manapun atau beli ini dan itu. Praktis, transaksi jajan atau ngeluarin duit hari itu sudah enggak ada lagi. Kecuali membayar uang bikin pemakaman Ibuku.
“Berapa, nih?” tanya kakak perempuan pertamaku yang memang ditugaskan bikin pemakaman Ibuku itu saat menerima uang dariku. Sekali lagi, dia menghitung uang yang kuberikan. “Gopek, ya?”
Aku mengangguk. “Coba cek lagi. Jangan-jangan lebih,” pintaku bernada guyon.
Ternyata betul, emang cuma gopek alias 500 ribu. Tapi, yang aku bingung, kenapa di dompet enggak ada duit tersisa? Padahal, kan tadi ngabil 700 ribu. Seratus buat jajan, seharusnya sisa 100 ribu lagi.
Penarasan, aku pun melihat prin-prinan slip ATM tadi. Dan oh lala... ternyata, di situ sudah tercetak 700 ribu.
“Lho, piye toh Mas... Tadi emang gak diitung dulu!” istriku agak kaget waktu aku bilang, kalo ternyata duitnya emang yang dikeluarin mesin ATM kurang 100. Karena aku yakin banget, hari itu enggak ngeluarin duit lagi selain jajan kue dan bakso. Tuyul? Enggak mungkilah, wong dompetku aja susah ngebukanya.
“Itu tuh, kalo kelewat pede. Ngambil duit enggak pernah diitung lagi!” cerocos biniku mulai bawel. Padahal yang hilang cuma 100 ribu. Enggak jutaan atau miliaran rupiah, kayak yang dialami pemerintah akibat dicolongin koruptor.
“Bukan soal 100 ribunya. Tapi kalo yang ngilit (ngambil) Bank, ya gak rela aja!” sungut istriku waktu aku bilang total segitu kecil lah. “Kalo pun mau nyumbang 100 ribu, kan harusnya enggak ke bank. Tapi mending ke yatim piatu kek, keluarga miskin kek.....!”
Istriku bener juga. Bank kan gudangnya duit, ngapain saya nyumbang. Toh, dari bunga-bunga nasabah dan lainnya, kan udah banyak. “Lha, trus piye?” tanyaku sembari menampakkan muka bingung.
“Piye.. piye... ya klaim dong, Mas. Masak diem aja!” ketus istriku.
“Lha gimana mau klaim, jeng. Wong di slip udah tertera segitu, kok!” kataku gemas, sembari nyubit pipinya. Berharap, dia enggak marah. Lagian, dari kasus yang sudah-sudah, mo klaim kayak apapun, kalo di slip sudah tertera segitu, ya segitu. Karena aku pernah ingat kasus serupa yang dialami Robi, temanku, ya nasibnya seperti itu. Udah klaim butuh waktu panjang, pake adu otot, tetap gak ada hasilnya. Malah, waktu itu temanku harus kehilangan duit 500 ribu. Dan lebih parah, di slip sudah tertera ngambil duit 500 ribu, eh duitnya gak nongol. Capek dehhhhh..
Jadi, menurutku, nasib yang kualami masih lebih untung dari temanku itu. Toh, cuma seratus rebu. Tapi kalo keseringan, ya ngejengkelin juga sih. “Udah deh, kalo di slip tertera begitu, trus duitnya gak keluar, pasrahin sama Allah aja. Kalo masih rezeki balik, ya kalo enggak udah anggap aja buang sial!” skeptis temanku waktu itu. Karena ujung-ujungnya dari kasus yang temanku alami itu, dia tetap disalahin. Kata orang bank yang waktu itu jawab, “Kenapa enggak dihitung lagi atau langsung klaim?”
Ya, itulah. Kayaknya, konsumen selalu kalah dengan hal seperti ini. Artinya, selalu ada klausul karet yang bikin kita lemah. Lagian, kalo pun kita hitung dan ternyata kurang, lalu saat itu juga klaim, tetap aja prosesnya bak ular naga atau cokelat coki-coki. Panjang dan laamaaaaaaaaaaa....
Tapi dalam hal ini, yang aku sesalkan saat mengalami kejadian ini: nggak ngitung lagi duit yang aku ambil. Ternyata keyakinan akan sistem yang bagus belum tentu selalu menjamin keakuratan selamanya. Apalagi, yang kita adepin mesin. Harusnya sih, pihak bank gak terlalu pede juga, kalo mesin itu enggak bisa salah. Wong dia diprogram manusia juga, kok. Ya, kemungkinan eror atau korup juga ada, toh.
Di akhir cerita, dari pengalaman ini, aku sama seperti yang lain, Cuma bisa berujar, Untung cuma seratus rebu. Coba kalo lebih, huh... bisa aku congkel tuh mesin ATM. Sambil tereak... woyyyyyyy... kembaliin duit gue, kurang cepek ceng. Tapi, yang terpenting adalah, kita antisipasi dulu deh. Jangan over pede akan sistem yang sekali dua kali membuat kita puas, lantas lalai mengecek lagi. Dari pada sewot berikutnya, kan?